Home Berita Forum Perdamaian Dunia Usulkan ‘Jalan Tengah’ untuk Tangkal Ekstremisme
Berita - 27/08/2018

Forum Perdamaian Dunia Usulkan ‘Jalan Tengah’ untuk Tangkal Ekstremisme

Kepala Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antarnegara dan Peradaban (UKP-DKAAP), Din Syamsudin, bersama tokoh dari beberapa negara, di Hotel Sultan, Semanggi, Jakarta Pusat, Kamis (16/8/2018).
Dok. Tribunnews.com – Kepala Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog dan Kerja Sama Antarnegara dan Peradaban (UKP-DKAAP), Din Syamsudin, bersama tokoh dari beberapa negara, di Hotel Sultan, Semanggi, Jakarta Pusat, Kamis (16/8/2018).

 

Dian Septiari

THE JAKARTA POST/JAKARTA

Dunia seharusnya tidak terjebak dalam ekstremitas berdasarkan keyakinan keagamaan atau ideologi nasional, dan mengambil “jalan tengah”. Demikian pesan yang dikumandangkan dalam pertemuan dua tahunan ketujuh Forum Perdamaian Dunia di Jakarta yang dimulai pada Selasa.

Keyakinan ekstremis dari semua jenis, termasuk yang mengatasnamakan agama dan ideologi nasional, diidentifikasi sebagai penyebab ketidakaturan global, ketidakpastian dan gangguan dalam bentuk krisis seperti perubahan iklim, kerawanan pangan dan perang, serta krisis ekonomi dan keuangan.

“Jalan tengah seharusnya menjadi solusi atas krisis peradaban dunia,” kata Din Syamsuddin, utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban saat acara pembukaan pada Selasa.

Forum ini dihadiri oleh puluhan tokoh agama, akademisi dan aktivis perdamaian dari 43 negara, serta tokoh-tokoh terkemuka dari Indonesia.

Acara tiga hari tersebut –berbeda dengan event tahunan Forum Perdamaian Dunia yang diselenggarakan Schengen Peace Foundation yang mengadakan pertemuan ke-12 di Kanada April lalu– diselenggarakan secara bersama oleh Kantor Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, Center for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Indonesia, dan Cheng Ho Multicultural and Education Trust yang berbasis di Kuala Lumpur.

Forum dibuka oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, yang menekankan bahwa mengarusutamakan pendekatan jalan tengah tidak mudah dan menuntut komitmen dan tekad kuat.

“Pendekatan jalan tengah harus diimplementasikan dalam sebuah komunitas yang terbuka dan toleran, dan diterjemahkan ke dalam program yang dapat dilaksanakan,” ujarnya.

Din berbicara kepada wartawan setelah upacara pembukaan bahwa forum itu bertujuan untuk mengirim pesan moral kepada dunia tanpa perjanjian yang mengikat secara hukum.

“Ekstrimitas radikal terjadi di banyak aspek kehidupan masyarakat,” kata dia, mengambil contoh sebuah sistem ekonomi ekstrem di mana orang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin menjadi semakin miskin, menciptakan ketidakseimbangan.

Sementara itu, ia mengatakan radikalisme agama disebabkan oleh “kesalahpahaman” terhadap ajaran agama.

“Radikalisme sebagian besar dipicu oleh faktor-faktor non-keagamaan seperti ketidaksetaraan dan disparitas dalam ekonomi dan politik,” ujarnya, memastikan bahwa Indonesia, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar, adalah moderat.

“Tidak mungkin untuk memiliki stabilitas jika kaum muslim tidak toleran,” katanya.

Berbagai penelitian yang diterbitkan lembaga pengawas hak asasi manusia seperti Setara Institute dan Wahid Institute telah melaporkan hal sebaliknya, di mana telah terjadi peningkatan tindakan intoleransi keagamaan di Indonesia.

Setara Institute mengungkapkan tahun lalu bahwa pelanggaran kebebasan beragama meningkat menjadi 208 insiden pada 2016 dari 197 pada 2015 dan 134 pada 2014, sementara tindakan intoleransi keagamaan meningkat menjadi 270 kasus tahun lalu dari 236 pada 2015 dan 177 pada 2014.

Setelah acara pembukaan, panel khusus yang dimoderatori oleh mantan menteri luar negeri Indonesia, Hassan Wirajuda, diadakan pada sore. Dalam diskusi, Hassan mengatakan pendekatan jalan tengah diperlukan untuk menjembatani perbedaan di antara berbagai peradaban, begitu pula untuk mencegah konflik.

Presiden Negara Federasi Mikronesia, Peter M. Christian mengatakan perdamaian harus menjadi topik permanen diskusi, dan tidak hanya muncul pada masa-masa konflik.

Dia mengatakan jalan tengah harus didefinisikan dengan jelas, “kalau tidak kita akan dituduh tidak ingin menentukan salah sebagai salah, atau benar sebagai benar, dan hanya mengambil jalan keluar paling gampang”.

Pada Rabu, beberapa panel terpisah akan diadakan untuk membahas implementasi jalan tengah dalam agama, ideologi nasional, ekonomi dan politik, sementara panel lain fokus pada budaya akan diadakan pada hari Kamis. [MSZ]

Artikel ini diterjemahkan dari The Jakarta Post Edisi 15 Agustus 2018